Membangun Desa: Ideologi Kota
Pada ranah
pemilihan wakil daerah : gubernur, walikota, presiden dan seterusnya
(calon-calon pemerintah) kita akan selalu melihat perang-perang wacana para
aktor yang berusaha menjadi pahlawan, mengumbar janji-janji pembangunan yang
menggiurkan semena-mena dipresentasikan kepada masyarakat demi mendapatkan
simpatik dan dukungan sebagai pemimpin yang benar. Ideologi-ideologi dirumuskan
untuk membangun kesejahteraan kehidupan masyarakat, dunia para ahli memaknai
kesejahteraan sebagai suatu pencapaian yang harusd icapai. Para ahli ini
sebagai salah satu orang yang diamanatkan memimpin suatu bangsa agar dapat
mengembangkan kehidupan masyarakatnya. Pembangunan infrastruktur menjadi alat
nomor wahid yang mereka gunakan untuk menghipnotis masyarakat. Membangun dan
mengembangkan wilayah pedesaan menjadihal yang termasuk utama yang dianggap
patut mereka perbincangkan sebagai pembuktian pemerintah yang baik untuk
dipilih. Sehingga muncul berbagai macam ideologi yang kebanyakan para ahlinya
berwawasan luas dan berpendidikan tinggi, kebanyakan paraahli ini lebih
dipercaya dimata masyarakat adalah paraahli yang mempunyai latar belakang
pendidikan dari kota. Dan pandangan ini pula dipercaya sebagian besar
masyarakat desase bagai tolak ukur dalam memilih pemerintah daerahnya sebagai
pemimpin yang dapat menjagadan mensejahterahkan masyarakat dipedesaan daerah
tersebut. Namun pada kenyataan sekarang adalah nilai-nilai desa yang semakin
hilang tergusur oleh pembangunan dan pengembangan sumberdaya di desa, maka
seringlah muncul dilema-dilema dimasyarakatdesa yang mimpinya mendapatkan
kesejahteraan malah semakin bertolak belakang seiring dengan berkembangnya
zaman globalisasi ini, hal-hal negatif yang terjadi bisa kita tengok melalui
adanya konflik dan ketidakpuasan masyarakat desa terhadap pemerintahnya, serta
perkembangan desa yang secara nyata dapat terlihat dalam kemajuan desa yang
berujung kepada wilayah perkotaan. Dalam hal ini bisa kita perhatikan bahwa ada
pula dukungan dari masyarakat desa yang polos dan lugu demi iming-iming
kesejahteraan hidup yang lebih membahagiakan malah melanggengkan praktik kekuasaan dan pemerintahan yang salah dengan tema dan
slogan perkembangan dan pembangunan.
Membangun desa
pada realitanya sekarang semakin melengserkan pengertian desa dan nilai-nilai
desa yang sesungguhnya. Demi kata memajukan sumberdaya manusiapedesaan, para
ahli yang mungkin sajamaksudnya baikrela dan bersedia berakting bak
pahlawan pengembangan infrastruktur desa. Teknologi danmodernitas menjadi salah
satu yang utama, bangunan-bangunan yang kokoh dan semakin megah,
pendidikan-pendidikan yang mesti disetarakan atau disamaratakan dengan kota dan
seterusnya. Tentu saja ideologi-ideologi yang datang adalah dari para ahli yang
sebagian besarnya dari kalangan kota. Rakyat pedesaan menerima ideologi ini
sebagai cita-cita kehidupansejahtera (datangdari impian kota). Masyarakat desa
terus-menerus diceritakan kebahagiaan kesejahteraan yang datang dari kota
melalui pembangunan, akhirnya makna dan bayangan kehidupandesa yang pada masa
kerjaan-kerajaan Nusantara dimana masyarakat desa di masing-masing sukunya
saling menghormati dan bergotong royong semakin hilang, bukti ketidak pedulian
bertetangga semakin terlihat bahkan di masyaraka pedesaan.
Beberbagai
wilayah-wilayah pembangunan di Indonesia semakin redup nilai-nilai pedesaannya,
penebangan hutan secara besar-besaran demi memperluas wilayah pembangunan,
industri-industri yg dikelola pihak asing ataupun pemerintah menancapkan
kuku-kukunya menggali kekayaan alam yang berlimpah di Indonesia,
wilayah-wilayah persawahan yang semakin dipersempit diganti dengan
pabrik-pabrik. Ini semua tentu saja semena-mena demi janji membangunan,
mengembangkan, dan mensejahterah kanrakyat.
Namun yang
konflik dan kemelaratan yang terus bermunculan di berbagai wilayah-wilayah
Indonesia yang berusaha dikembangkan dan dibangun itu apakah tidak mampu
dilihat sebagai hal yang perlu dianalisis lebih dalam lagi?. Di papua konflik
terjadi karena ketidakpuasan rakyat papua terhadap Freeport yang menetap disana
mengeruk hasil alam rakyat papua, alasan yang utama datang dari pemerintahnya
adalah demi meraup keuntungan dari perusahaan asing yang datang dan keuntungan
tersebut dijanjikan kepada kesejahteraan rakyat, namun realita yang terjadi
adalah keterbalikannya. Di Sulawesi, beberapa wilayah yang dulunya tersebar
wilayah persawahan yang luas di berbagai desa semakin tergusur rumah-rumah
batu. Pemuda-pemuda desa juga memegang kepercayaan urbanisasi sebagai cita-cita
kesejahteraan, membangun desa mereka kearah kemajuan teknologi dan pendidikan
yang berasal dari cermin sukses perkotaan adalah hal yang harus dicapai.Pemuda-pemuda
desa rela melakukan aksi protes kepada orang tuanya untuk mencari kehidupan
yang lebih layak dari bertani,mencerdaskan diri dengan menuntut ilmu di kota,
pengetahuan yang mereka dapat adalah pengetahuan kota. Bersawah pun dianggap
tidak mensejahterakan kehidupan. Maka imajinasi membangun desa hanya akan
melenyapkan nilai-nilai desa yang sebenarnya bila di proyeksikan oleh
ideologi-ideologi kota.
Salah satu
imbauan pada januari kemarin di berbagai media massa presiden Indonesia Susilo
Bambang Yudoyono setelah mendapat laporan dari menteri sandang danpangan Gita
mengatakan bahwa “masyarakat Indonesia harus mengurangi mengkonsumsi beras dan
gula”. Dengan alasan semakin meningkatnya konsumsi beras di Indonesia tidak
seimbang dengan produksi dan persediaan yang dimiliki Bulog akan meninggikan
pengeluaran Anggaran Negara untuk menyediakan beras yang cukup tiap tahunnya.
Pernyataan itu sebenarnya sedikit menggelitik dan menggemaskan saya pribadi,
karena sekecil-kecilnya pengetahuan saya adalah anggapan tentang Indonesia yang
kaya akan pertanian, apalagi sawah, mengapa bisa kurang yang sampai harus
membuat saya mengurangi konsumsi nasi dengan menggantinyadengan bahan pokok
lain??. Melalui pertanyaan dikepala saya itulah yang membuat saya berpikir
tentang kehidupan desa dimana ideologi kota dipakai untuk membangun sumber daya
pedesaan berkedok kehidupan yang lebih sejahtera ternyata dipraktekkan dalam
hal yang berlainan arti dengan desa bahkan proyeksinya malah semakin melaratkan
masyarakat desa. Tidak adanya penghormatan pemerintah dan masyarakat kota
terhadap petani dan masyarakat yang hidup di desa melalui hasil alam. Mungkin
saja ini dijadikan landasan-landasan generasi desa yang selalu bermimpi dan
bercita-cita ke kota karena tidak pelak lagi budaya bahasa di kota yang sering
kita gunakan yaitu “orang kampungan/ndeso” sebagai artian yang rendah terhadap
orang lain telah menjadi dorongan kuat generasi desa demi membuktikan
keberadaan mereka di mata masyarakat lain dan Negara mereka.
Akhirnya
ideologi mengembangkan sumber daya di desa sekali lagi telah terjerembab dalam
ideologi yang datang dari kota. Seharusnya ideologi mengembangkan desa itu
berasal dari masyarakat desa itu sendiri dalam artian rakyat desa yang
betul-betul cinta akan desa dan kehidupan desa dengan mengutamakan nilai-nilai
luhur desa, bukan mereka yang berusaha membangun dengan modernitas perkotaan.
SUMBER :
OPINI :
Masyarakat
desa dan masyarakat kota sama-sama ikut berkontribusi dalam pembangunan bangsa.
Hal itu terjadi karena warga desa dan kota sama-sama bergotong-royong dan
bersatu dalam melakukan perbaikan untunk bangsanya. Masyarakat desa dan masyarakat
kota memiliki keuntungan bagi negara, hal itu bertujuan untuk pembangunan
bangsa. Masyarakat desa merupakan masyarakat yang bekerja langsung seperti
pertanian dan peternakan. Sehingga apabila dijual akan memiliki harga jual dan
nilai untuk pembangunan. Sedangkan masyarakat kota yang lebih berwawasan berperan
sebagai pendistributor atau manajemen yaitu bagian pemasarannya. Sehingga masyarakat
desa dan kota masing-masing saling bertalian dalam membangun bangsa Indonesia.
Kutip dikit ya mbak..
BalasHapus