Dampak Penggunaan Merkuri Dalam Aktivitas Penambangan Emas Di Aceh
Sebelum membahas dampak dari penggunaan merkuri ada baiknya penulis
menjelaskan terlebih dahulu apa itu merkuri. Merkuri atau hydrargyrum (bahasa Latin: Hydrargyrum,
air/cairan perak) atau dapat disebut pula sebagai raksa adalah unsur kimia
pada tabel periodik dengan simbol Hg dan nomor atom 80. Unsur golongan logam transisi
ini berwarna keperakan dan merupakan satu dari lima unsur (bersama cesium, fransium, galium, dan brom) yang berbentuk cair dalam suhu kamar,
serta mudah menguap. Hg atau merkuri akan memadat pada tekanan 7.640 Atm.
Kelimpahan Hg di bumi menempati di urutan ke-67 di antara elemen lainnya pada
kerak bumi. Di alam, merkuri (Hg) ditemukan dalam bentuk unsur merkuri (Hg0),
merkuri monovalen (Hg1+), dan bivalen (Hg2+).
Merkuri banyak digunakan sebagai bahan amalgam gigi, termometer, barometer, dan
peralatan ilmiah lain, walaupun penggunaannya untuk bahan pengisi termometer telah digantikan (oleh termometer alkohol, digital, atau termistor)
dengan alasan kesehatan dan keamanan karena sifat toksik yang dimilikinya. Unsur ini diperoleh
terutama melalui proses reduksi dari cinnabar mineral. Densitasnya
yang tinggi menyebabkan benda-benda seperti bola biliar menjadi terapung jika
diletakkan di dalam cairan raksa hanya dengan 20 persen volumenya terendam.
Selain untuk kegiatan penambangan emas, logam merkuri digunakan dalam produksi
gas khlor dan soda kaustik, termometer, tambal gigi, dan baterai. Merkuri dapat
berada dalam berbagai senyawa. Bila bergabung dengan khlor, belerang atau
oksigen, merkuri akan membentuk garam yang biasanya berwujud padatan putih.
Garam merkuri sering digunakan dalam krim pemutih dan krim antiseptik. Merkuri
anorganik (logam dan garam merkuri) terdapat di udara dari deposit mineral, dan
dari area industri. Merkuri yang ada di air dan tanah terutama berasal dari
deposit alam, buangan limbah, dan aktivitas volkanik.
Seperti yang
telah dijelaskan diatas akan penggunan merkuri dalam aktivitas penambangan
emas, maka kali ini penulis akan membahas penggunaan merkuri di area
penambangan Aceh. Tidak
hanya di Aceh Utara, di Kabupaten Aceh Selatan pun limbah mercury banyak
bertebaran pada areal pengolahan emas tradisional di Gunung Alue Buloh,
Desa Panton Luas, Kecamatan Sawang. Tambang emas di kawasan Gunung Alue Buloh, Sawang itu sendiri
adalah milik daerah sehingga merupakan asset pemerintah kabupaten Aceh Selatan.
Tempat pengolahan emas gelondongan di Sawang sudah mencapai 114 unit
(Serambinews.com).
Pada penambangan emas tradisional, merkuri digunakan untuk
memisahkan butiran emas dari tanah, pasir atau bebatuan. Para
penambang emas tradisional demi mendapatkan butiran emas, setiap hari
mengguyurkan merkuri ke pasir,
tanah, dan bebatuan. Di Kecamatan Sawang terdapat sungai Krueng Sawang yang
airnya diperkirakan sudah terkontaminasi limbah merkuri karena bagian terbesar
dari limbah merkuri itu hanyut ke sungai selain terserap oleh tanah. Penambang
emas juga kadang menggunakan Tromol, sebuah alat berat pengolahan
biji dan pasir menjadi emas dengan menggunakan air keras.
Kabupaten Aceh Selatan pada tahun 2010, limbah mercury
banyak bertebaran pada areal pengolahan emas tradisional di Gunung Alue Buloh,
Desa Panton Luas, Kecamatan Sawang. Tambang emas di kawasan Gunung Alue Buloh,
Sawang itu sendiri adalah milik daerah sehingga merupakan asset pemerintah
kabupaten Aceh Selatan. Tempat pengolahan emas gelondongan di Sawang sudah
mencapai 114 unit. Sedangkan pada akhir tahun 2013. Penelitian Dinas Kesehatan
Kabupaten Aceh Jaya dengan mengambil sampel air dan tanah di beberapa titik
dalam kota Calang menyimpulkan telah terjadi pencemaran merkuri (Hg). Hasil ini
kemudian dikonfirmasi kembali selang dua bulan kemudian oleh Laboratorium BTKL
PP Kelas I Medan dengan hasil yang hampir sama. Penelitian yang serupa
dilakukan oleh mahasiswa pasca Sarjana Unsyiah beberapa tahun lalu di Sungai
Kr. Sabee juga menyatakan sungai tersebut telah tercemar limbah merkuri.
Kepala Seksi Kesehatan Lingkungan Kabupaten
Aceh Jaya, Dahnial SKM yang ditemui beberapa waktu lalu menjelaskan bahwa
titik-titik yang menjadi pengambilan sampel merupakan lokasi yang berdekatan
dengan tempat pengolahan emas. Pemerintah Aceh Selatan berada pada situasi
dilematis antara kepentingan ekonomi, dan ekologi. Apabila penambangan
emas tradisional itu dihentikan dan ditutup maka akan berdampak pada
perekonomian masyarakat sekitar, sementara bila dibiarkan akan mengancam
keselamatan dan kesehatan masyarakat sebagai dampak negatif dari bahan
berbahaya dan beracun (B3) limbah merkuri. Solusi yang dipertimbangkan adalah
menggunakan zat lain yang ramah lingkungan untuk memisahkan emas sebagai logam
mulia dari tanah, pasir, atau bebatuan. Dibawah ini merupakan aktivitas
penambangan emas di Aceh.
Penambangan liar ini secara langsung memicu penggunaan
merkuri besar-besaran untuk memurnikan emas dari material lain. Limbah merkuri
yang dihasilkan dibuang begitu saja ke lingkungan sekitar tanpa melalui
pengolahan. Limbah dibuang ke tanah dan ke aliran sungai yang berbahaya bagi
makhluk hidup. Selain itu penambangan liar menghancurkan hutan Ulu Masen.
Beberapa tahun lalu, seorang mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan Konservasi Sumber
Daya Lahan Universitas Syiah Kuala yang bernama Iwandikasyah juga melakukan
penelitian kandungan merkuri di daerah aliran sungai (DAS) Krueng Sabee,
Kabupaten Aceh Jaya. Ia meneliti dampak limbah merkuri akibat aktivitas
penambangan secara tradisionil dan semi modern.
Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa merkuri pada sedimen
(hulu, median, dan hilir) di aliran Krueng Sabee berbahaya dan nilainya di atas
ambang batas sebagaimana ditetapkan dalam Permenkes RI No.416/Menkes/Per/IX/1990
tentang Baku Mutu Kualitas Air Bersih sebesar 0,001 mg/l. Yang lebih
mengkhawatirkan lagi kandungan merkuri pada biota di daerah hulu, median, dan
hilir di aliran Krueng Sabee berbahaya dan nilainya di atas ambang batas.
Menurut Iwandikasyah, bila kondisi ini terus dibiarkan, akan berdampak buruk
terhadap lingkungan dan kesehatan warga yang menetap di daerah aliran sungai
tersebut.
Iwandikasyah
memperkirakan estimasi penggunaan merkuri perharinya mencapai 3 kg/hari/unit
(0,75 kg x 4 penggilingan/hari). Jumlah kilang yang beroperasi lebih kurang 100
unit, maka pemakaian merkuri perharinya mencapai 300 kg/hari, 70 % terjadi
penyusutan dan 30 % hilang terbawa air (terbuang dalam bentuk limbah), sehingga
yang beredar di lingkungan masyarakat adalah 90 kg/hari. “Sehingga saya
menyimpulkan bahwa limbah yang terdibuang bersama air ke aliran sungai Krueng
Sabee di perkirakan sebesar 32.400 kg/tahun atau sekitar 32,4 ton/tahun,”
jelasnya.
Ancaman
Penyakit
Dari aspek kesehatan masyarakat, limbah merkuri dapat
menimbulkan penyakit berbahaya yang dapat menyerang sistem saraf dan otak
manusia melalui aliran darah yang disebut Minamata Disease (Penyakit
Minamata). Bahaya merkuri akan terlihat lima hingga 20 tahun mendatang. Gejala
klinis seseorang yang menderita Penyakit Minamata adalah kerusakan pada otak,
gagap bicara, hilangnya kesadaran, sulit tidur, kaki dan tangan terasa dingin,
gangguan penciuman, bayi-bayi yang lahir cacat hingga menyebabkan kematian.
Penyakit Minamata dapat juga menyerang hewan yang menghirup udara yang
mengandung merkuri atau memakan bahan makanan yang tercemar merkuri. Nama
minamata ini diambil berdasarkan munculnya Minamata Disease, pada 1956
sekitar 2.000-3.000 jiwa penduduk kota Minamata, Jepang di dera penyakit aneh
akibat pencemaran limbah mercury atau juga disebut air raksa di teluk Minamata.
Berikut ini penulis juga akan melampirkan mengenai dampak dari penggunaan
merkuri terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas penambangan emas
yang sembrono.
Penyakit Minamata yang Diderita Masyarakat
Oleh: Riyadi Blog
Dampak Merkuri
terhadap lingkungan
Para penambang emas tradisional menggunakan merkuri untuk
menangkap dan memisahkan butir-butir emas dari butir-butir batuan. Endapan Hg
ini disaring menggunakan kain untuk mendapatkan sisa emas. Endapan yang
tersaring kemudian diremas-remas dengan tangan. Air sisa-sisa penambangan yang
mengandung Hg dibiarkan mengalir ke sungai dan dijadikan irigasi untuk lahan
pertanian. Selain itu, komponen merkuri juga banyak tersebar di karang, tanah,
udara, air, dan organisme hidup melalui proses fisik, kimia, dan biologi yang
kompleks.
Bila mikroorganisme (bakteri) itu kemudian termakan oleh
ikan, ikan tersebut cenderung memiliki konsentrasi merkuri yang tinggi. Ikan
adalah organisme yang menyerap jumlah besar methyl raksa dari permukaan air
setiap hari. Akibatnya, methyl raksa dapat ikan dan menumpuk di dalam rantai
makanan yang merupakan bagian dari mereka. Efek yang telah raksa pada hewan
adalah kerusakan ginjal, gangguan perut, intestines kerusakan, kegagalan
reproduksi DNA dan perubahan.
Dampak
Merkuri Terhadap Kesehatan dari Tremor Sampai ke Kematian
Dalam
lingkungan perairan, merkuri
anorganik dikonversi oleh mikroorganisme menjadi metil merkuri yang sangat
beracun dan sangat mudah terserap ke dalam jaringa. Sekitar 90% kandungan
merkuri dalam ikan berupa metil merkuri (Ramade F dalam Martono, 2005).
Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa sekitar 95% metil merkuri yang masuk ke
dalam tubuh diserap oleh usus yang sebagian besar tertahan dalam jaringan
tubuh, dan kurang dari 1% yang dikeluarkan lagi dari dalam tubuh (Mason CF
dalam Martono, 2005).
Perairan yang
telah tercemar logam berat merkuri bukan hanya membahayakan komunitas biota yang hidup dalam perairan
tersebut, tetapi juga akan membahayakan kesehatan manusia. Hal ini karena sifat
logam berat yang persisten pada lingkungan, bersifat toksik pada konsentrasi
tinggi dan cenderung terakumulasi pada biota (Kennish dalam Masriani, 2003).
Senyawa metil merkuri yang merupakan hasil dari limbah penambangan emas masuk
ke dalam rantai makanan, terakumulais pada ikan dan biota sungai. Oleh karena
itu manusia akan mengalami keracunan jika memakan ikan dan biota perairan yang
tercemar logam tersebut.
Sulit untuk
menduga seberapa besar akibat yang ditimbulkan oleh adanya logam berat
dalam tubuh. Namun, sebagian besar toksisitas yang disebabkan oleh beberapa
jenis logam berat seperti Pb, Cd, dan Hg adalah karena kemampuannya untuk
menutup sisi aktif dari enzim dalam sel. Hg mempunyai bentuk kimiawi yang
berbeda-beda dalam menimbulkan keracunan pada mahluk hidup, sehingga
menimbulkan gejala yang berbeda pula. Toksisitas Hg dalam hal ini dibedakan
menjadi dua bagian, yaitu toksisitas organik dan anorganik.
Pada bentuk anorganik, Hg berikatan dengan satu atom karbon
atau lebih, sedangkan dalam bentuk organik, dengan rantai alkil yang pendek.
Senyawa tersebut sangat stabil dalam proses metabolisme dan mudah menginfiltrasi
jaringan yang sukar ditembus, misalnya otak dan plasenta. Senyawa tersebut
mengakibatkan kerusakan jaringan yang irreversible, baik pada orang dewasa
maupun anak (Darmono, 1995). Toksisitas Hg anorganik menyebabkan penderita
biasanya mengalami tremor. Jika terus berlanjut dapat menyebabkan pengurangan
pendengaran, penglihatan, atau daya ingat. Senyawa merkuri organik yang paling
populer adalah methyl mercury yang berpotensi menyebabkan toksisitas terhadap
sistem saraf pusat. Kejadian keracunan metil merkuri paling besar pada makhluk
hidup timbul di tahun 1950-an di Teluk Minamata, Jepang yang terkenal dengan
nama Minamata Disease
Walaupun mekanisme keracunan merkuri di dalam tubuh belum
diketahui dengan jelas, beberapa hal mengenai daya racun merkuri dapat
dijelaskan sebagai berikut (Fardiaz, 1992) :
·
Semua komponen merkuri dalam jumlah cukup,
beracun terhadap tubuh.
·
Masing-masing komponen merkuri mempunyai
perbedaan karakteristik dalam daya racun, distribusi, akumulasi, atau
pengumpulan, dan waktu retensinya di dalam tubuh.
·
Transformasi biologi dapat terjadi di dalam
lingkungan atau di dalam tubuh, saat komponen merkuri diubah dari satu bentuk
ke bentuk lainnya.
·
Pengaruh buruk merkuri di dalam tubuh adalah
melalui penghambatan kerja enzim dan kemampuannya untuk berikatan dengan grup
yang mengandung sulfur di dalam molekul enzim dan dinding sel.
·
Kerusakan tubuh yang disebabkan merkuri biasanya
bersifat permanen, dan sampai saat ini belum dapat disembuhkan.
Penting untuk diketahui, air raksa sangat beracun bagi
manusia! Hanya sekitar 0,01 mg dalam tubuh manusia dapat menyebabkan kematian.
Sayangnya setelah air raksa yang sudah masuk ke dalam tubuh manusia, tidak
dapat dibawa keluar. Kontaminasi dapat
melalui inhalasi, proses menelan atau penyerapan melalui kulit. Dari tiga
proses tersebut, inhalasi dari raksa uap adalah yang paling berbahaya. Jangka
pendek terpapar raksa uap dapat menghasilkan lemah, panas dingin, mual, muntah,
diare, dan gejala lain dalam waktu beberapa jam. Jangka panjang terkena
uap raksa menghasilkan getaran, lekas marah, insomnia, kebingungan, keluar air
liur berlebihan, ritasi paru-paru, iritasi mata, reaksi alergi, dari
kulit rashes, nyeri dan sakit kepala dan lainnya. Mercury memiliki
sejumlah efek yang sangat merugikan pada manusia, di antaranya sebagai berikut
:
·
Keracunan oleh merkuri nonorganik terutama
mengakibatkan terganggunya fungsi ginjal dan hati.
·
Mengganggu sistem enzim dan mekanisme sintetik
apabila berupa ikatan dengan kelompok sulfur di dalam protein dan enzim.
Merkuri (Hg) organik
dari jenis methyl mercury dapat memasuki placenta dan merusak janin pada wanita
hamil sehingga menyebabkan cacat bawaan, kerusakan DNA dan Chromosom,
mengganggu saluran darah ke otak serta menyebabkan kerusakan otak.
Penanggulangan
Penggunaan merkuri
Pada
prinsipnya ada 2 (dua) usaha untuk menanggulangi pencemaran, yaitu
penanggulangan secara non-teknis dan secara teknis. Penanggulangan secara non
teknis yaitu suatu usaha untuk mengurangi pencemaran lingkungan dengan cara
menciptakan peraturan perundangan yang dapat merencanakan, mengatur dan
mengawasi segala macam bentuk kegiatan industri dan teknologi sehingga tidak
terjadi pencemaran. Sedangkan penanggulangan secara teknis bersumber pada
perlakuan industri terhadap perlakuan buangannya, misalnya dengan mengubah
proses, mengelola limbah atau menambah alat bantu yang dapat mengurangi
pencemaran.
Dengan
pengalaman adanya banyak kerusakan akibat bencana dari kasus penyakit yang
ditimbulkan dari merkuri menjadi awal sebagai titik balik kita untuk mengemban
langkah-langkah dalam melindungi lingkungan telah mengalami kemajuan yang
signifikan. Perlunya kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat untuk
sama-sama memiliki kesadaran untuk menjaga kesehatan lingkungan sekitar kita
demi kelestarian lingkungan saat ini dan generasi yang akan datang.
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan
Hidup dijelaskan bahwa upaya penanganan terhadap permasalahan pencemaran
terdiri dari langkah pencegahan terhadap permasalahan pencemaran terhadap
permasalahan pencemaran terdiri dari langkah pencegahan dan pengendalian.
Upaya pencegahan adalah mengurangi
sumber dampak lingkungan yang lebih berat. Ada pun penanggulangan atau
pengendaliannya adalah upaya pembuatan standar bahan baku mutu lingkungan, pengaweasan
lingkungan dan penggunaan teknologi dalam upaya mengatasi masalah pencemaran
lingkungan. Secara umum, berikut ini merupakan upaya pencegahan atas pencemaran
lingkungan.
a.
Mengatur sistem pembuangan limbah industri sehingga tidak mencemari lingkungan
b.
Menempatkan industri atau pabrik terpisah dari kawasan permukiman penduduk
c.
Melakukan pengawasan atas penggunaan beberapa jenis pestisida, insektisida dan
bahan kimia lain yang berpotensi menjadi penyebab dari pencemaran lingkungan.
d.
Melakukan penghijauan.
e.
Memberikan sanksi atau hukuman secara tegas terhadap pelaku kegiatan yang
mencemari lingkungan
f.
Melakukan penyuluhan dan pendidikan lingkungan untuk menumbuhkan kesadaran
masyarakat tentang arti dan manfaat lingkungan hidup yang sesungguhnya.
g.
Industri harus mengikuti regulasi hukum dan AMDAL yang telah ditetapkan
pemerintah
Sumber:
Darmoni. 2009. Farmasi Forensik dan Toksikologi. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Puspita, desy. 2010. Penyebab Limbah serta Cara
Penanggunalangannya.
Soemirat, Juli, dkk.
2007. Toksikologi Lingkungan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
http://desypuspita.wordpress.com/2010/03/22. 30 Maret
2012.
http://www.jejaringkimia.web.id/2010/03/dampak-merkuri-terhadap-manusia-dan.html